Senin, 17 Mei 2010

Westerling, 1950

Panglima tentara Belanda di Indonesia, Letnan Jenderal Hendrik Simon Spoor yang begitu ambisius untuk menduduki Indonesia merasa sangat kecewa dengan sikap para politisi Belanda yang menginginkan perdamaian dengan pihak Republik. Diam-diam Spoor mengajak bekas kapten KNIL, Raymond Paul Pierre Westerling untuk melancarkan sebuah kudeta terhadap Republik.

Spoor bertemu dengan Westerling di bulan Februari 1949, dan sejak bulan Maret 1949 Westerling begitu bersemangat menanggapi ide Spoor serta kemudian mempersiapkan diri baik dari sarana, prasarana dan logistik untuk melakukan kudeta. Spoor sendiri tidak bisa melihat aksi yang dilakukan oleh Westerling karena keburu meninggal pada bulan Mei 1949.

Kapten Westerling sebenarnya adalah bagian dari Korps Speciale Troepen/Regiment Speciale Troepen (KST/RST) yang ditunjuk oleh Spoor untuk memimpin penyerangan ke Maguwo dan Yogyakarta di bulan Desember 1948, tapi satu bulan sebelumnya Westerling dipecat dari dinas militer karena melakukan pembantaian terhadap 156 penduduk Tjikalong-Tasikmalaja serta membakar habis 165 rumah dan 800 ton beras, penduduk Tjikalong yang dibantai dituduh oleh Westerling membantu gerilya pasukan Siliwangi. Setelah dipecat dari dinas militer dia menjalankan usaha transport onderneming di sekitar wilayah Bandung dan Jakarta.

Langkah awal yang dilakukan Westerling adalah membentuk RAPI (Ratu Adil Persatuan Indonesia), penggunaan kata “Ratu Adil” dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat kelas bawah khususnya di daerah Pasundan yang begitu mendambakan kedatangan “Ratu Adil” atau Imam Mahdi atau Heru Cokro. Dan terbukti kemudian strateginya ini berhasil.

Setelah itu dia membentuk sayap militer RAPI yang disebut APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), masyarakat desa yang terbius dengan “Ratu Adil” segera ditampung ke dalam APRA dalam bentuk Tentara Keamanan Desa (TKD) yang didoktrin oleh Westerling untuk menjaga tanah Pasundan dari intervensi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Laporan tentang pembentukan RAPI oleh Westerling diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949

Namun sebenarnya kekuatan utama APRA tidak terletak pada TKD, namun pada pasukan gabungan yang Westerling bangun sendiri. Mereka terdiri dari, mantan anak buah dan rekan-rekan Westerling di KST/RST, anggota KNIL yang kecewa dengan restrukturisasi di tubuh Angkatan Perang RIS serta tidak ketinggalan beberapa anggota NEFIS (the Netherlands Forces Intelligence) turut pula membantu. Tidak terlalu sulit bagi Westerling mempengaruhi teman-teman dan anak buahnya sendiri terutama yang berada di KST/RST.

Tidak hanya membangun kekuatan militer, Westerling pun membangun kekuatan ekonomi dan politik. Kekuatan ekonomi dibangun Westerling dengan cara menjalin hubungan dengan beberapa pengusaha Cina yang anti Republik seperti Tjie Yoek Moy, Tjia Pit Kay, Nio Peng Liang dan lainnya. Perusahaan-perusahaan Belanda seperti BPM (Bataafsche Petroleum Maatscappij) dan KPM (Koninklij Packetvart Maatschapij) juga disinyalir membantu keuangan gerakan Westerling ini.

Secara politik, Westerling mendekati tokoh-tokoh Republik yang kecewa, khususnya tokoh-tokoh lokal Pasundan seperti Wiranatakusuma yang menjabat sebagai Wali Negara Pasundan. Pada aksi APRA di kota Bandung pada bulan Januari 1950, terlihat mobil kemenakan Wiranatakusuma bergabung dengan pasukan APRA. Namun demikian salah satu kesuksesan Westerling dalam membangun jaringan politik adalah dia berhasil mendekati seorang tokoh nasional yaitu Sultan Hamid II (Sultan Pontianak) untuk terlibat dalam gerakannya.

Sultan Hamid II adalah pencipta lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Westerling bertemu dengannya pada tanggal 22 Desember 1949 di Hotel Des Indies Jakarta. Pada pertemuan tersebut Weterling mengakui telah membentuk APRA dengan kekuatan 15.000 pasukan. Saat itu Westerling menawarkan komando kepada Hamid. Pada awalnya Sultan Hamid II menolak, tetapi di awal bulan Januari 1950, ia menerima tawaran Westerling karena merasa tidak puas dengan posisinya sebagai Menteri Negara tanpa Portofolio. Jabatan yang diinginkan oleh Sultan Hamid II adalah menteri luar negeri dan menteri pertahanan. Kemudian dalam otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun 1952, Westerling mengaku, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak.

Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.

Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.

Beberapa hari kemudian, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J. Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda, dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Namun demikian Westerling sulit tertangkap karena dia memiliki banyak koneksi politik-militer di wilayah Jakarta dan Bandung, bahkan patut diduga aksi Westerling ini juga didukung oleh sebagian unsur perwakilan Belanda di Indonesia.

Pada tanggal 22 Januari 1950, Komandan KST/RST di Batujajar Jawa Barat, Letnan Kolonel Borghouts, melaporkan bahwa sejumlah anak buahnya telah melakukan desersi. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix juga melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di Kampemenstraat, juga telah melakukan desersi serta bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta. Dari kepolisian Belanda Inspektur van Beelden memimpin anak buahnya membantu aksi Westerling.

Operasi militer yang dilakukan oleh Westerling bertujuan menguasai dua kota vital di Republik, Jakarta dan Bandung. Titik temu gerombolan APRA dipusatkan di Cimahi dan Padalarang yang mana kemudian pasukan dibagi dua, sekitar 800 tentara menyerbu ke kota Bandung dan sisanya menuju Jakarta. Operasi APRA dimulai sekitar pukul 04.30 WIB tanggal 23 Januari 1950.

Dalam serangan ke Bandung, pihak APRA memakan korban sekitar 79 anggota tentara Indonesia termasuk beberapa perwira menengah diantaranya Letnan Kolonel Lembong dan 6 orang penduduk sipil (Antara, 25-1-1950). Sedangkan serangan ke ibukota Republik batal dilaksanakan karena kekurangan amunisi. Truk-truk yang mengangkut persenjataan yang digunakan untuk bertempur di Jakarta tidak pernah sampai di Padalarang.

Ketika peristiwa APRA meletus, tanggung jawab keamanan kota Bandung masih berada di tangan tentara Belanda, dan sementara itu pusat kekuatan Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Kolonel Sadikin berada di kota Subang. Hal inilah yang memudahkan tentara APRA menguasai Bandung. Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel T.B. Simatupang yang berada di Jakarta memerintahkan Divisi Siliwangi untuk melakukan serangan balasan.

Karena kota Bandung masih berada dalam pengawasan KNIL, maka sebelum dilakukan serangan balasan Divisi Siliwangi mengutus wakilnya, Letkol Ery Sudewo, untuk berunding dengan Mayor Jenderal Engels, Komandan KNIL di Bandung, agar ketika dilakukan penyerangan Divisi Siliwangi tidak salah sasaran. Namun demikian dari perundingan tersebut diperoleh kesepakatan yaitu Mayjend Engels menjamin kalau gerombolan APRA akan mundur dari kota Bandung pada sore hari tanggal 23 Januari 1950.

Setelah gerombolan APRA mundur dari Bandung, mereka dikejar-kejar oleh Divisi Siliwangi, sehingga terjadi pertempuran di beberapa tempat seperti di Cirandang, Mande, Cikalong, Pacet, Cipeuyeum, Cisokan, Cianjur dan lainnya sekitar tanggal 24 hingga 27 Januari 1950. Hasilnya Divisi Siliwangi berhasil menangkap 300 orang gerombolan APRA. Tentara yang tergabung dalam APRA kemudian diserahkan ke pengadilan militer Belanda. Westerling sendiri bagaikan belut berhasil menghilang dan muncul di Belanda sekitar bulan Agustus 1950.

Pustaka :

1. Doorstoot Naar Djokja. Julius Pour. Kompas. 2009.
2. Westerling : Kudeta Yang Gagal. Petrik Matanasi. MedPress. 2007.
3.
http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Kudeta_Angkatan_Perang_Ratu_Adil

Semoga bermanfaat

2 komentar:

  1. menarik sekali menyimak sepak terjang wersterling, boleh saya kutip untuk blog saya "Mari menengok sejarah"?

    BalasHapus
  2. menarik sekali menyimak sepak terjang wersterling, boleh saya kutip untuk blog saya "Mari menengok sejarah"?

    BalasHapus